Rabu, 31 Desember 2014

Hikayat Gay di Sodom (bagian 2/habis)

Hikayat Gay di Sodom (bagian 2/habis)
Bab-Edh-dhra, lokasi ditemukannya reruntuhan kota Sodom dan Gomoroh
Lalu suatu hari, Allah mengutus tiga malaikat untuk menyamar menjadi pria yang sangat tampan nan mempesona. Mereka menuju sungai dimana putri Luth tengah mengabil air. "Wahai nona, adakah tempat istirahat disini?" ujar salah seorang malaikat menyamar sebagai musafir, bertanya pada seorang putri Luth.  Melihat wajah yang sangat luar biasa, putri Luth ketakutan mereka akan dilukai warga jika memasuki negeri Sodom. "Tunggulah disini sampai aku memberitahu kalian kepada ayahku dan kembali," ujar putri Luth lantas segera berlari pulang ke rumah meninggalkan bejana air. Setibanya dirumah, ia pun melaporkannya pada sang ayah dengan menangis.
Mereka pun menjadi tamu misterius di tempat tinggal Luth. Melihat ketampanan tamunya, Luth pun merasa ketakutan jikalau warganya mengetahui maka akan terjadi hal buruk pada tamu tersebut. Ia sangat gelisah karena merasa tak akan mampu melindungi tamunya.
"Janganlah kamu takut, jangan pula susah. Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali isterimu, dia adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan," ujar utusan tersebut. Mendengarnya, tahulah Luth bahwa tamunya merupakan jelmaan dari malaikat Allah.
Dengan diam-diam, istri Luth mengabarkan tamu misterius tersebut kepada warga Sodom. Padahal Luth telah berpesan pada istri dan dua putrinya untuk merahasiakan kehadiran tamu tersebut. Namun Istri dari nabi bukan jaminan bagi seorang wanita menjadi beriman dan bertaqwa. Maka berkumpullah para gay di negeri tersebut di rumah Luth. Mereka ingin menyaksikan dan menikmati ketampanan tamu tersebut.
"Sesungguhnya mereka adalah tamuku. Jangan kalian membuatku malu, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina," seru Luth melihat warga mengepung rumahnya.
Namun warga tetap keras kepala, mereka menerobos masuk rumah Luth karena hawa nafsu. Namun dengan kekuasaan Allah, mereka ak mampu melihat para malaikat berwujud manusai tampan tersebut. Tiba-tiba saja mereka tak mampu melihat.  Luth pun tak peduli lagi pada warga terlaknat tersebut.
Ia segera bergegas meninggalkan negeri Sodom bersama keluarganya. Malaikat berpesan, "Pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutlah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kamu menoleh kebelakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu," kata malaikat utusan tersebut terakhir kali sebelum pergi.
Maka keluarlah Luth dari negeri Sodom bersama istri dan dua putrinya di tengah malam. Mereka bergegas dan tak menoleh sedikit pun ke negeri yang dimurkai Allah tersebut. Namun diperjalanan, sang istri berjalan lambat dan terus saja menoleh karena penasaran benarkah adzab akan menimpa negeri Sodom.
Saat menjelang matahari terbit, Luth dan dua putrinya sampai di sebuah bukit jauh dari Sodom. Saat itulah terdengar suara bumi dan langit sekan melampiaskan kemarahan. Suara keras mengguntur dari langit dan menurunkan hujan batu. Bumi pun bergoncang dan membalikkan Kota Sodom.
Redaktur: A.Syalaby Ichsan
Reporter: Afriza Hanifa

Khurasan Negeri Tempat Keluarnya Dajjal ?


"Dajjal akan keluar dari muka bumi ini, di bagian timur yang bernama Khurasan”. (H.R Tirmidzi). 

Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadith Al-Nabawi , mengungkapkan, saat ini, Khurasan terletak di ujung timur Laut Iran. Pusat kotanya adalah Masyhad.

Sejarah peradaban Islam mencatat Khurasan dengan tinta emas. Betapa tidak. Khurasan merupakan wilayah yang terbilang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Jauh sebelum pasukan tentara Islam menguasai wilayah itu, Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya telah menyebut-nyebut nama Khurasan.

Letak geografis Khurasan sangat strategis dan banyak diincar para penguasa dari zaman ke zaman. Pada awalnya, Khurasan Raya merupakan wilayah sangat luas membentang meliputi; kota Nishapur dan Tus (Iran); Herat, Balkh, Kabul dan Ghazni (Afghanistan); Merv dan Sanjan (Turkmenistan), Samarkand dan Bukhara (Uzbekistan); Khujand dan Panjakent (Tajikistan); Balochistan (Pakistan, Afghanistan, Iran).

Kini, nama Khurasan tetap abadi menjadi sebuah nama provinsi di sebelah Timur Republik Islam Iran. Luas provinsi itu mencapai 314 ribu kilometer persegi. Khurasan Iran berbatasan dengan Republik Turkmenistan di sebelah Utara dan di sebelah Timur dengan Afganistan. Dalam bahasa Persia, Khurasan berarti ‘Tanah Matahari Terbit.’

Jejak peradaban manusia di Khurasan telah dimulai sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi (SM). Sejarah mencatat, sebelum Aleksander Agung pada 330SM menguasai wilayah itu, Khurasan berada dalam kekuasaan Imperium Achaemenid Persia. Semenjak itu, Khurasan menjelma menjadi primadona yang diperebutkan para penguasa.

Pada abad ke-1 M, wilayah timur Khurasan Raya ditaklukan Dinasti Khusan. Dinasti itu menyebarkan agama dan kebudayaan Budha. Tak heran, bila kemudian di kawasan Afghanistan banyak berdiri kuil. Jika wilayah timur dikuasai Dinasti Khusan, wilayah barat berada dalam genggaman Dinasti Sasanid yang menganut ajaran zoroaster yang menyembah api.


Khurasan memasuki babak baru ketika pasukan tentara Islam berhasil menaklukkan wilayah itu. Islam mulai menancapkan benderanya di Khurasan pada era Kekhalifahan Umar bin Khattab. Di bawah pimpinan komandan perang, Ahnaf bin Qais, pasukan tentara Islam mampu menerobos wilayah itu melalui Isfahan.

(Pasukan yang membawa) bendera hitam muncul dari Khurasan. Tak ada kekuatan yang mampu menahan laju mereka dan mereka akhirnya akan mencapai Yerusalem, di tempat itulah mereka akan mengibarkan benderanya.’’ (HR. Turmidzi).

Dari Isfahan, pasukan Islam bergerak melalui dua rute yakni Rayy dan Nishapur. Untuk menguasai wilayah Khurasan, pasukan umat Islam disambut dengan perlawanan yang amat sengit dari Kaisar Persia bernama Yazdjurd. Kaisar Yazdjurd yang terdesak dari wilayah Khurasan akhirnya melarikan diri ke Oxus.

Setelah Khurasan berhasil dikuasai, Umar memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan konsolidasi di wilayah itu. Khalifah tak mengizinkan pasukan tentara Muslim untuk menyeberang ke Oxus. Umar lebih menyarankan tentara Islam melakukan ekspansi ke Transoxiana.

Sepeninggal Umar, pemberontakan terjadi di Khurasan. Wilayah itu menyatakan melepaskan diri dari otoritas Muslim. Kaisar Yazdjurd menjadikan Merv sebagai pusat kekuasaan. Namun, sebelum Yadzjurd berhadapan lagi dengan pasukan tentara Muslim yang akan merebut kembali Khurasan, dia dibunuh oleh pendukungnya yang tak loyal.

Khalifah Utsman bin Affan yang menggantikan Umar tak bisa menerima pemberontakan yang terjadi di Khurasan. Khalifah ketiga itu lalu memerintahkan Abdullah bin Amir Gubernur Jenderal Basra untuk kembali merebut Khurasan. Dengan jumlah pasukan yang besar, umat Islam mampu merebut kembali Khurasan.

Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, Khurasan merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Islam yang berpusat di Damaskus. Penduduk dan pemuka Khurasan turut serta membantu Dinasti Abbasiyah untuk menggulingkan Umayyah. Salah satu pemimpin Khurasan yang turut mendukung gerakan anti- Umayyah itu adalah Abu Muslim Khorasani antara tahun 747 M hingga 750 M.

Dajjal dan Khurasan dalam Hadits

Kemunculan Dajjal merupakan fitnah terbesar dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Dalam literatur Islam, disebutkan tentang sifat-sifat Dajjal, yaitu bahwa Dajjal adalah seorang manusia yang buta sebelah matanya. Ia pun terkenal sebagai oknum yang hebat dalam tipu daya hingga banyak umat muslimin mengikuti jejak langkahnya saat ia memunculkan diri.

“Barangsiapa yang mendengar ada Dajjal, maka hendaklah ia bersmbunyi darinya. Demi Allah, ada seseorang yang mendatanginya dan dia mengira bahwa ia akan tetap beriman lantas dia mengikutinya, karena banyaknya syubhat yang menyertainya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Al Hakim)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW melihat Dajjal dalam mimpi. Beliau melukiskan;

“laki-laki berbadan besar, berkulit kemerahan, rambutnya keriting, buta sebelah, matanya seperti sebutir anggur yang menonjol. Manusia yang paling mirip dengannya adalah Ibnu Qothn bin Khuza’ah.”

Perbincangan mengenai dimana turunnya Dajjal memang memiliki banyak penjelasan dan versinya masing-masing. Namun kita harus pandai-pandai dalam menyikapi dan mengumpulkan banyak hadis untuk melihat gamabran jernih tentang tempat turunnya Dajjal. Dalam penelusuran lebih jauh, riwayat-riwayat yang ada tidak memberikan informasi yang begitu rinci. Hadits Tamim Ad Dari yang diriwayatkan oleh Fatimah binti Qais menjelaskan posisi Dajjal berada di laut Yaman. Sedangkan janji Rasulullah SAW tentang tempat keluarnya Dajjal berada di wilayah Khurasan. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dimana Rasulullah SAW bersabda;

“Dajjal akan keluar di bumi bagian Timur yang disebut Khurasan. Ia diikuti oleh beberapa kaum yang wajah mereka seperti perisai yang dipukuli.”

Menurut Abu Fatiah Al Adnani dalam bukunya Fitnah dan Petaka Akhir Zaman, Khurasan adalah sebuah makna yang berarti tempat terbit matahari. Ia merupakan negeri yang amat luas meliputi beberapa negeri Persi, Afghanistan, dan Turkistan. Khurasan memanjang ke Asia antara sungai Amudariya sebelah utara serta Timur dan Gunung Hindukus sebelah selatan serta beberapa daerah Persi bagian Barat.

Tidak hanya itu, Khurasan juga memanjang ke beberapa negara seperti Shafad dan Sajistan. Oleh karena itu ia dinisbatkan dengan Negara-negara besar seperi Bukhari, Khawarizmi, Ghaznah, dan Isfahan. Dan Khurasan yang diketahui saat ini adalah Negara Persia yang terletak di bagian Timur dan Timur Laut Iran.

Masih menurut Abu Fatiah al Adnani, ia menyatakan bahwa sebagian penulis tentang fitnah Akhir Zaman membagi periode keluarnya Dajjal, yang pertama adalah Dzuhur yang berarti kemunculan dan Khuruj yang berarti keluarnya Dajjal. Kalimat Dzuhur dimaknai sebagai fase kemunculan dan Khuruj memiliki arti sebagai keluarnya dalam bentuk dan wujud yang bukan aselinya, waktunya sangat panjang dan itu terjadi sebelum kemunculan Al Mahdi.

Khuruj juga bermakna keluarnya Dajjal untuk yang terakhir kalinya dalam bentuk fisik sebagaimana yang disebutkan dalam banyak riwayat yaitu buta matanya dan bertuliskan kata ka fa ra tepat di dahinya. Fase keluarnya ini hanya terjadi selama 40 hari dan terjadi setelah keluarnya al Mahdi.

DR. Umar Sulaiman al Asyqar dalam kitabnya al Yaum al Akhir juga membagi dua periode antara munculnya Dajjal dan keluarnya Dajjal. Ia mengatakan bahwa Dajjal akan muncul dari timur, suatu daerah Persia bernama Khurasan. Ini dikuatkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibn Majah, Hakim, Ahmad, dan Dhiya’ dalam al-Mukhtar, dari Abu Bakar Shiddiq yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda;

“Sesungguhya Dajjal muncul disebuah daerah di timur bernama Khurasan. Ia diikuti oleh orang-orang yang wajahnya seperti tameng yang ditempa palu.”

Dalam penjelasan lebih jauh, keluarnya Dajjal yang pertama kali adalah untuk unjuk kekuatan, membuat fitnah, teror, mencari pendukung, dan menebar propaganda bahwa dirinya adalah tuhan semesta alam. Peristiwa ini berlangsung selama waktu yang tidak diketahui. Selama masa ini pun Dajjal mendapatkan kemenangan dan banyak mengalahkan musuh-musuhnya.

Dalam suatu riwayat yang menunjukkan bagaimana proses kemunculan Dajjal pertama kali di muka bumi. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al Bahili;

“Di awal kemunculannya, ia berkata: ‘Aku adalah Nabi’, Padahal tidak ada nabi setelahku. Kemudian ia memuji dirinya sambil berkata: ‘Aku adalah Rabb (Tuhan) kalian’, padahal kalian tidak dapat melihat Rabb kalian sehingga kalian mati.” (HR. Ibnu Majjah. II/512-516)

Adapun keluarnya Dajjal yang terakhir kalinya adalah pada saat pertempuran akhir antara Dajjal dan kaum muslimin. Pendukung Dajjal saat itu bukan lagi para Yahudi yang tinggal di Israel. Mungkin saja Yahudi Israel saat itu sudah dikalahkan oleh kaum muslimin ketika penaklukan baitul Maqdis dilakukan oleh Al Mahdi.

Pendukung Dajjal sendiri adalah kaum Yahudi Asbahan yang tinggal di sebuah perkampungan Yahudiyyah. Jumlah mereka sebanyak 70.000 orang dengan memakai topi. Dari Anas bin Malik ra, sabda beliau SAW; 

“Dajjal akan keluar dari kota Yahudi Isfahan (Wilayah di Khurasan, Iran, red.) bersama 70,000 penduduk Isfahan”. (Fath al-Rabbani Tartib Musnad Ahmad. Ibn Hajar berkata Shahih)

“Dajjal akan diikuti oleh 70.000 yahudi dari kota Isfahan (Nan), mereka memakai Al-Tayalisah”. (HR. Muslim)

Menurut Abu Fatiah al Adnani, keluarnya Dajjal dari arah Timur ini disebabkan oleh kemarahan, hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,

“Sesungguhnya Dajjal akan keluar karena suatu kemarahan” (HR. Muslim dan Ahmad dari Ibnu Umar). 

Adapun peristiwa keluarnya Dajjal yang kedua kalinya adalah karena datangnya batsyatul kubra atau hantaman yang keras berupa meteor dari langit dan munculnya Dukhan). Dan ini terjadi setelah Al Mahdi dan kaum muslimin berhasil menaklukan Konstantin.

Referensi: Republika / Ermuslim

Hikayat Gay di Sodom (bagian 1)

Hikayat Gay di Sodom (bagian 1)
Bab-Edh-dhra, lokasi ditemukannya reruntuhan kota Sodom dan Gomoroh
Kaum gay sudah hidup ribuan tahun lalu, seperti diberitakan kitab suci. Syahdan, seorang putra Haran dari wilayah Ur, Luth (Lot) mengikuti jejak pamannya, Ibrahim (Abraham) ke negeri Kanaan. 
Setiba disana, Luth ditugaskan Allah berdakwah. Luth pun mendatangi Kota Sodom di utara Laut Mati dan Gamora (Gomorrah)berlokasi di sepanjang timur laut Laut Mati.
"Mengapa kalian tidak bertakwa? Sungguh, aku ini seorang rasul yang diutus kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada ku. Dan aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku hanyalah dari Tuhan seluruh alam," ujar Luth.
Belum cukup dibuat heran dengan datangnya seorang yang mengaku utusan Tuhan, bangsa Sodom pun kemudian dibuat murka karena sang utusan tersebut terang-terangan melawan kebiasaan warga melakukan homoseksual.
Ia mengajak mereka kembali kepada Allah dan meninggalkan perbuatan yang dimurkai-Nya. "Sungguh kalian benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?!" Seru Luth mengajak kaumnya bertaubat.
Menanggapi kedatangan Luth mereka pun acuh. Ucapan Luth bagai angin lalu. Luth dianggap tak waras yang mengusik kehidupan mereka. Meski demikian, sang nabi tak putus asa. Ia terus mengajak mereka kembali pada agama Allah.
"Mengapa kamu mendatangi sesama lelaki (Homoseks) di antara manusia? Sementara kamu tinggalkan perempuan yang diciptakan Tuhan untuk dijadikan sebagai istri? Kamu memang orang-orang yang melampaui batas," kata Luth.
Apa jawaban kaum Sodom? Tentu saja mereka menolaknya mentah-mentah.  "Hai Luth! Jika kau tidak berhenti, maka kau akan termasuk orang-orang yang terusir," ancam warga Sodom. Dengan sabar, Luth hanya menimpali, "Sungguh aku benci pada perbuatan kalian".
Semakin Luth menyampaikan dakwah, semakin mereka menantang. "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar," ujar mereka menyombongkan diri.
Habis sudah kesabaran Luth mengajak mereka pada kebenaran. Luth pun mengeluhkan kesulitannya menghadapi bangsa Sodom kepada Allah Ta'ala. Ia pun menengadahkan tangan seraya minta pertolongan, "Ya Tuhanku, tolonglah aku atas kaum yang berbuat kerusakan itu. Ya Tuhanku, selamatkanlah aku beserta keluargaku dari akibat perbuatan yang mereka kerjakan," ujar sang nabi. (bersambung).
Redaktur: A.Syalaby Ichsan
Reporter: Afriza Hanifa

STOP!! Perayaan Tahun Baru Masehi = Hari Raya Kafir Penyembah Dewa


Enam hari setelah Natal 25 Desember, tibalah tahun baru Masehi tanggal 1 Januari. Umat kristiani biasa menggabungkan ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Tak sedikit umat Islam yang latah terjebak promosi kekafiran dengan mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru Masehi.
Bahkan ikut-ikutan merayakan pergantian tahun baru dengan gebyar maksiat. Demi menunggu momen pukul 00.00 mereka rela menghambur-hamburkan dana secara mubazir untuk pesta kembang api, pesta miras, festival hiburan yang berbaur pria dan wanita, perzinaan dan pesta maksiat lainnya.
Tak sedikit waktu, dana, tenaga dan pikiran yang dibuang percuma demi tahun baru. Padahal Allah SWT memperingatkan bahwa para pemboros itu adalah saudaranya syaitan yang sangat ingkar kepada Tuhan (Qs Al-Isra’ 26-27).
Dalam tinjauan akidah, para ulama yang berkompeten telah memfatwa haram ucapan Selamat Tahun Baru Masehi, terlebih merayakan pestanya.
Komisi Fatwa Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Daimah lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta’) dalam Fatawa nomor 20795 menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi kepada non muslim tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim karena perayaan tahun baru tidak masyru’ (tidak disyariatkan).” Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Syaikh Bakr Abu Zaid.
Senada itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam dilarang mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi (Miladiyah), karena ia bukan tahun syar’i. Bahkan apabila memberi ucapan selamat kepada orang-orang kafir yang merayakan hari raya Tahun Baru, maka orang ini dalam keadaan bahaya besar berkaitan dengan hari-hari raya kekafiran.
Karena ucapan selamat terhadap hari raya kekafiran itu berarti senang dengannya dan mensupport kesenangan mereka, padahal senang terhadap hari-hari raya kekafiran itu bisa-bisa mengeluarkan manusia dari lingkaran Islam, sebagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz-Dzimmah. (Liqoatul Babil Maftuh, juz 112 halaman 6).
Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan selamat kepada simbol-simbol khusus kekafiran, (hal tersebut ) adalah haram menurut kesepakatan ulama…” (Ahkamu Ahlu Ad-Dzimmah, 1/441).
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili dalam situsnya juga mengharamkan ucapan Selamat Tahun Baru Masehi karena perbuatan tersebut termasuk tasyabbuh (meniru kebiasaan orang kafir) kepada kaum Kristen yang mana mereka saling mengucapkan selamat ketika awal tahun baru Masehi. Tasyabbuh dengan mereka diharamkan oleh Rasulullah SAW.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti umatnya tentang bahaya tasyabbuh terhadap orang Persia, Romawi, Yahudi dan Kristen. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang biawak, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Para ulama itu memperingatkan strategi pemurtadan yang dikemas dengan pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, sesuai firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah 109, Ali-Imran 69, 99, 149, dan Al-Hijr 9.
Momentum Tahun Baru ini tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme dan ateisme serta pemunculan sesuatu kemungkaran yang bertentangan dengan syariat.
Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syiar-syiar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang Kristen dan Yahudi.
Banyak yang beranggapan bahwa perayaan tahun baru adalah urusan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan akidah. Padahal secara historis, perayaan tahun baru Masehi tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan ritual penyembahan dewa Janus dalam agama paganisme (agama kafir penyembah berhala):
“The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who had two faces – one looking forward and the other looking backward” (The World Book Encyclopedia, 1984, volume 14 hlm. 237).
(Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke-46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu).
Dalam mitologi Romawi, Dewa Janus adalah sesembahan kaum Pagan Romawi. Bulan Januari (bulannya dewa Janus) ditetapkan setelah Desember karena Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari di mana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari banyaknya pengaruh Pagan pada tradisi Kristen.
Kaum Pagan pandai menyusupkan budaya mereka ke dalam budaya agama lain. Ini terbukti dengan tradisi mereka bertahun baru yang sudah populer diikuti di berbagai belahan dunia. Misalnya, tradisi kaum Pagan merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, bernyanyi bersama, memukul lonceng dan meniup terompet.
Ke dalam agama Kristen, tradisi pagan ini diadopsi dengan menjadikan hari Dewa Janus tanggal 1 Januari menjadi Tahun Baru Masehi, sehingga muncullah pemisahan masa sebelum Yesus lahir pun (Sebelum Masehi/SM) dan sesudah Yesus lahir (Tahun Masehi/M).
Di Persia yang beragama Majusi (penyembah api), tanggal 1 Januari juga dijadikan sebagai hari raya yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus. Dalam perayaan itu, mereka menyalakan api dan mengagungkannya, kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan minuman keras (khamr). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.
Shahabat Abdullah bin ’Amr RA memperingatkan dalam Sunan Al-Baihaqi IX/234: ”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya Nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”

[A. Ahmad Hizbullah MAG/SI]

Persiapan Jelang Kiamat

Persiapan Jelang Kiamat
Ilustrasi
Suatu saat nanti, dunia dan segala isinya akan binasa. Manusia dan semua mahkhluk hidup yang ada di dalamnya akan mati.

Itulah yang disebut hari akhir atau kiamat. Kedatangannya adalah sebuah kepastian. Tapi, tak ada satu orang pun yang mengetahui dengan pasti kapan kiamat akan datang.

Ada dua pengertian hari akhir. Untuk konteks semua manusia, hari akhir terjadi saat tiupan sangkakala yang kedua. Tiupan ini akan menentukan apakah manusia akan ke surga atau neraka.

Di dalam Alquran Surah al-Haqqah ayat 13-15, Allah SWT berfirman, “Maka, apabila sangkala ditiup sekali tiup. Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka, pada hari itu terjadi kiamat.”

Ada juga makna hari akhir dalam konteks sebagian orang. Yaitu, mereka yang melihat matahari dan mereka masih hidup. Berarti, kiamat terjadi saat sangkakala ditiup pada tiupan pertama.

Pertanyaannya, sudah siapkah kita menghadapi hari kiamat? Ini seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW pada umatnya.

Suatu hari, ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi, “Kapan hari akhir akan datang?”
Nabi balik bertanya, “Apa yang sudah kau lakukan untuk menghadapinya?” Sahabat menjawab, “Tidak ada kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Dan, Rasul menjawab, “Kalau begitu, kelak kau akan berkumpul bersama yang kau cintai.”

Buku ini berisi pengetahuan yang lengkap tentang hari akhir. Pengetahuan ini sangat penting karena kita akan sulit mendapatkan gambaran bagaimana melewati kehidupan ini. Dengan persiapan pengetahuan tentang hari akhir, kita bisa menjalani kehidupan dengan baik. Segala sesuatu yang baik tentu akan menghasilkan yang baik pula.

Penulis merangkum semua pengetahuan itu ke dalam buku ini. Penulis menggambarkan secara sistematis perjalanan manusia dan suasananya, mulai dari maut, alam barzakh, ditiupnya sangkakala kebangkitan, Padang Mahsyar, syafaat, shirath (jembatan), sampai akhirnya surga dan neraka.

Soal surga misalnya, dijelaskan tentang nama-namanya, malaikat penjaga, orang-orang yang masuk surga sebelum kiamat, jalan menuju surga, gambaran surga, para penghuni, juga bidadari surga.

Sedangkan, soal neraka penulis menuliskan tentang nama-nama neraka, gambaran neraka, penghuni neraka, hukuman yang Allah siapkan untuk para penghuni neraka, dan cara agar terhindar dari neraka.

Apa yang disajikan penulis sangat bermanfaat sebagai bekal persiapan kita menghadapi hari akhir. Kunci persiapan tersebut adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana cara mencintai Allah dan Rasul-Nya?

Tidak ada cara lain, selain membekali diri dengan pengetahuan tentang hari akhir berdasarkan Alquran dan hadis, dua sumber yang tak terbantahkan. Karena itu, buku ini sangat penting untuk dibaca dan dipahami.

Judul         : Buku Pintar Hari Akhir
Penulis     : Dr Abdul Muhsin al Muthairi
Penerbit   : Zaman
Cetakan   : I, 2012
Halaman  : 720





Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Anjar Fahmiarto

Cerita Anggur Nasi Saat Sultan Iskandar Muda Menjamu Tamu Kerajaan

ADAT istiadat Aceh dalam memuliakan tamu sudah dilakoni sejak masa kerajaan dulu. Seperti halnya tata cara Sultan Iskandar Muda menyambut tamu dari luar negeri yang kerap mengunjungi Aceh pada masa itu.
Berdasarkan catatan orang-orang Eropa, Kerajaan Aceh seringkali mengadakan acara yang panjang lebar untuk penyambutan tamu. Meski tamu tersebut hanya berkunjung ke Aceh tanpa tujuan lain. Acara penyambutan tamu ini merupakan pengalaman besar bagi para pelaut Eropa yang tak bisa dilupakan. Upacara itu setiap kali berlangsung menurut urutan yang sama seperti diungkap Lancaster, Beaulieu dan buku Adat Atjeh.
Dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M menuliskan, begitu kapal membuang sauh di dekat gosong sungai maka akan datang sebuah perahu kecil dengan Syahbandar dan beberapa pegawai. Termasuk di dalamnya juru tulis bea cukai yang membawa keris raja.
Mereka mencatat segala sesuatu yang akan dipersembahkan kepada sultan, lalu pulang. Esok harinya atau dua hari kemudian, iring-iringan orang kaya datang menghadap ke kapten asing tersebut bersama iring-iringannya.
Setiap hadiah yang akan diberikan kepada Sultan Aceh akan ditutup dengan kain warna kuning. Jika ada surat resmi dari raja Eropa, maka akan ditaruh di atas talam perak yang ditutup dengan kain bersulam emas. Lalu berangkatlah iring-iringan itu menuju kota dan istana.
Di bagian depan, duduk di atas gajah orang kaya. Dia membawa talam dan 6 terompet, 6 genderang dan 6 hobo. Di barisan gajah kedua, duduk seorang kapten di susul dua orang kaya yang menaiki kuda Arab, tiga syahbandar dan semua pegawai bea cukai yang menyusul dengan jalan kaki.
"Maka kami melintasi jalan-jalan, diarak seperti pengantin," kata Beaulieu dengan jenaka.
Setiba di depan pintu istana mereka turun ke tanah, orang kaya menjunjung keris ke atas kepala dan kapten masuk, hanya diikuti beberapa dari orangnya.
Ia melintasi ketiga pelataran sampai ruang pertama tempat ia harus membuka sepatunya. Lalu masuk ke dalam ruang singgasana; di sana sultan duduk di tempat yang tingginya sekitar dua kaki.
Tata cara berikutnya yaitu, kapten asing lalu bersujud di atas sebuah permadani Turki sementara orang kaya menyampaikan surat kepada sang raja. Dia menterjemahkannya. Menurut De Beaulieu, seirng kali terjemahan tersebut tersendat-sendat.
Setelah itu, antara orang Eropa dan Kerajaan Aceh mengadakan pertukaran hadiah. Kebiasaan pada zaman itu, orang Eropa menghadiahkan senjata yang bagus-bagus. Sering yang berpamor, batu mulia atau cermin.
Sebagai balasan, sultan menghadiahkan sehelai jubah putih panjang yang diletakkan dalam talam perak. Selain itu juga ada surban penuh sulaman emas, kadang-kadang ikat pinggang yang lebar dan dua bilah keris.
Menurut keterangan Augustin de Beaulieu, dia juga menerima sebuah bejana besar dari emas penuh sirih. Jika ada surat dari sultan untuk "saudara"nya di Eropa akan ditaruh di pasu perak dalam bungkusan beludru merah bertali emas. Surat itu ditulis dengan huruf emas atas kertas yang sangat licin dengan hiasan emas dalam gambar-gambar di pinggiran surat.
Setelah acara tersebut, biasanya raja menjamu kapten dan perwira-perwiranya. "Kami pergi ke sebuah ruang persegi empat yang dinding dan lantainya dilapis kain dari Turki."
Kepadanya ditawarkan sirih dalam tempat emas yang besar dengan tutup dari zamrud. Lalu datanglah sekitar 30 perempuan, masing-masing dengan membawa sebuah bejana perak besar yang tertutup, yang kemudian mereka letakkan di atas permadani.
Setiap bejana ditutup dengan kain emas atau kain songket dari bahan sutra campur benang emas dan beberapa permata yang menyentuh di tanah. Setelah diberi tanda, para perempuan tadi membuka bejana yang sebesar pasu besar dan jeluk sekali sehingga tingginya bersama tutupnya lebih dari 2.5 kaki.
"Dari masing-masing bejana itu dikeluarkan 6 pinggan emas penuh dengan manisan, daging dan kue yang dimasak seperti lazimnya di negeri itu," kata Beaulieu.
Beualieu menambahkan, ada bejana-bejana dari porselin Cina dan dua tempat tembaga besi nasi yang diperuntukkan bagi penolong raja. Hal ini sesuai dengan keterangan Best, "The King presented me with a banker of at least foure hundred dishes with such plentie of hot drinks as might have sufficed a drunken army."
Makanannya banyak, ada minuman "racke" (arak), anggur nasi yang tinggi kadar alkoholnya (mungkin yang dimaksud adalah tape, yaitu nasi yang sudah diperam dengan ragi kemudian dimakan dengan santan yang rasanya asam). Anggur nasi ini menurut beberapa penjelajah Eropa terlalu keras untuk mereka.
"This wine is made of rice and is a strong as any of aquaevitae; a little will serve to bring one asleepe. The generall after the first draught, dranke either water mingled there with all, or pure water. The King gave him leave so to doe; for the generall beg his pardon as not able to drinke so strong drinke," ujar Lancaster dalam laporannya terkait minuman keras ini.
Sesudah jamuan makan, sultan memanggil para penari. Lalu dibawa masuk sebuah permadani berlatar emas yang digelar antara tempat ia berada dan tempat saya, lalu datang 15 atau 20 perempuan yang mengambil tempat sepanjang tembok. Suara mereka ditiru seperti genderang kecil yang mereka pegang dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan yang dicapai raja selama pemerintahannya.
Masih menurut kesaksian de Beaulieu, dari sebuah pintu kecil masuklah dua perempuan atau gadis yang pakaiannya aneh namun cantik sekali.
"Tidak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian. Sukar bagi saya menerangkannya sebab seluruhnya dari emas belaka."
Dia mengatakan, para penari ini memakai topi yang berdiri dari unting-untingan emas di atas rambutnya. Emas tersebut begitu gemerlapnya seperti jambul-jambul sepanjang 1.5 kaki. Mereka juga memakai antin-anting besar yang juga dari unting-untingan emas dan menggantung sampai ke bahu. Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah-lidah lancip lengkung seperti sinar matahari.
"Seluruhnya diukti dari lempeng emas yang aneh sekali..."
Beualieu juga mengatakan, di atas sebuah kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada, dengan ikat pinggang besar yang lebar benar, terbuat dari unting-untingan emas: pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas sebagaimana kebiasaannya di negeri itu, dan di bawahnya celana, juga dari kain emas yang tidak melampaui lutut dan yang digantungi beberapa kerincing emas kecil.
Lengan dan kaki telanjang tapi dari pergelangan sampai siku tertutup renda emas berpemata, seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis.
Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang hulu dan sarungnya penuh permata, dan tangan mereka memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirannya.
Selain jamuan tadi, terkadang utusan luar negeri juga diajak oleh Sultan berendam dalam air mancur yang letaknya lima atau enam mil dari kota.
"Sang raja menjamu saya dengan makanan lezat dan "racke" yang berlimpah-limpah, dan kami harus makan dan minum segalanya itu sambil duduk di dalam air. Semua bangsawan dan kapten besarnya hadir. Santapan kami berlangsung dar pukul satu sampa kira-kira pukul lima, lalu raja memperbolehkan saya pergi," kisah Best seperti yang ditulis Lombard dalam bukunya.
Begitulah cara Sultan Aceh menjamu tamunya pada masa itu. Hingga saat ini, masyarakat Aceh masih mempertahankan beberapa adat tersebut seperti halnya menyambut tamu dengan tari ranup lampuan dan jamuan makanan yang berlimpah.
Selengkapnya baca tabloid mingguan The Atjeh Times edisi 31 Desember 2012 - 6 Januari 2013 dengan cover "Iskandar Muda: Dua Wajah Sang Penakluk." [bna]

Syiah Kuala dan Tsunami

Para pelajar dari seluruh negeri yang telah mendapatkan dari dayah Plang Priya membuka lembaga pendidikan serupa di tempat asal masing-masing. anak keturunan Fansuri selain melanjutkan mengajar di Dayah Blang Priya juga pergi ke mana-mana untuk membuka dayah yang sama. Hingga pada kisaran abad ke-15, dua bersaudara Fansuri yang telah memperoleh ijizah dari Dayah Blang Pria pergi mengembara ke pantai selatan Sumatra. Tepatnya di kawasan Singkil, masing masing mereka membuka dayah di tempat berbeda di dalam kawasan tersebut. Karena begitu besarnya antusias warga pantai barat mengirim anak-anak mereka untuk belajar di kedua dayah tersebut, sehingga semua warga dalam radius yang luas terpengaruh oleh lingkungan, budaya dan adab yang berlaku dalam lingkungan dayah.
Begitu besarnya pengaruh keduah dayah Fansur bersaudara sehingga orang-orang di luar Singkil menyebut singkil sebagai Fansur karena semua tahu bahwa di wilayah itu ada dayah yang sangat dan pimpinannya bernama Abu Fansur. ‘Abu’ adalah sebutan bagi ulama-ulama. Sementara orang-orang Singkil sendiri bila keluar wilayahnya, mereka lebih dikenal sebagai orang Fansur.
Dayah yang satu dipimpin oleh Hamzah, yang dikenal sebagai sufi pengikut Ibn Arabi dan dayah satunya lagi dipimpin oleh Ali. Ali memiliki anak bernama Abrurrauf. anaknya itu setelah menyelesaikan pendidikan agama dasar di dayah yang dibangun oleh ayahnya pergi ke Dayah Blang Piya, yang juga milik keluarga besarnya. Setelah mendalami ilmu-ilmu tinggi seperti mantiq dan tasawuf di Blang Priya, Pasae, berlabuh ke Arab untuk memunaikan ibadah haji. di Tanah Haram, kabar kedatangan Abdurrauf (yang dikenal ulama di sana sebagai putra dari ulama Pasae) sampai ke telinga imam besar Masjidil Haram. Imam Besar mengundang Abdurrauf. Dalam diskusi mereka, Abdurrauf menjadi semakin tertarik untuk menetap dulu di Makkah untuk menimba ilmu. Sebelumnya Abdurrauf memang pernah menyampaikan niatnya di Fansur dan di Blang Priya untuk sekaligus menuntut ilmu dalam perjalanan hajinya.
Setelah menimba ilmu dengan gigih hampir sepuluh tahun, masyarakat dalam kerajaan Aceh Darussalam mengiba supaya beliau dapat ke Kutaraja dan menjadi pemimpin agama bagi mereka. Kondisi keberagamaan masyarakat Aceh Darussalam yang terus dilanda keresahan karena kebingungan dalam polemik perdebatan mazhab teologi dan falsafi menggugah hati beliau. Abdurraufpun ke Kutaraja. Di sana beliau di sambut hangat. para petinggi kerajaan mengadakan syukuran semacam pesta tau dikenal dengan peusijuk. Abdurrauf lebih dahulu mencari informasi detail tentang polemik masyarakat tersebut yang telah dia rasa sejak dia di Blang Priya dan berita itu menjadi hangat dan sampai ketelinganya saat masih menimba ilmu di Makkah.
Abdurrauf adalah ulama yang sangat dalam agamanya. Dia telah menempuh ajaran tinggu dalam tarikat dan tasawuf. Karisma beliau disegami siapapun termasuk para petinggi kerajaan. Saat beliau disaulat menjadi mufti kerajaan Aceh Darussalam, seolah-olah polemik antara teolog dan filosof yang telah menumpahkan banyak darah, tidak pernah terjadi. Ketegasan beliau dalam menetapkan fatwa membuat semua kalangan puas. Bahkan jabatan tertinggi di kesultanan meski diemban oleh perempuan, tidak ada yang berani atau bahkan berfikir untuk mempertanyakan, apalagi mengkritisi.
Semasa menjadi mufti kerajaan, beliau mengarang banyak kitab agama. Salah satu karya beliau yang paling terkenal adalah tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu. tafsur tersebut adalah tafsir pertama dalam bahasa Melayu.
Syaikh Abdurrauf As-Singkili atau dikenal dengan Syiah Kuala yang merupakan keponakan dari Syaikh Hamzah Fansuri meninggal di Kutaraja dan dimakamkan di pesisir utara kota tersebut. beliau dimakamkan di kawasan sebuah dayah yang dibangun untuk mendidika para calon petinggi kerajaan dan anak-anak para hulu balang di seluruh mulim kawasan Aceh Darussalam.
Di tempat itulah ratusan tahun kemudian, tepatnya di komplek makam ulama besar tersebut diadakan sebuah pesta besar dilengkapi tarian telanjang bulat, minum-minum alkohol, kata-kata kasar dan kotor saling dilontar. Mereka larut dalam kesenagat hingga kesetanan. Mereka bergemibira karena dapat kembali ke jakarta dan tidur-tidur lagi dibarak karena meraka adalah sisa dari sasaran gerakan bersenta yang bergerilya. Betapa gembiranya mereka. Bukankan banyak teman-teman mereka yang telah dihiggap peluru badannya dan dihantar pulang ke kampungnya dengat tidak lagi bernyawa. Mereka kuat, mereka tangguh, mereka sadar itu, karena itu mereka berpesta.
Tetapi lam tidak bisa ikut berpesta dengan mereka. Alam memiliki hukumnya sendiri. Masaru Emoto, ilmuan Jepang telah membuktikannya. Energi positif dengan energi nagatif tidak bisa dihumpun bersamaan. Di sana berbaring jasad wali Allah. Itu energi positif. Orang-orang yang berziarah ratusan tahun, membaca zikir, mengaji Al- Qur’an dan bershalawat juga energi positif. Tetapi pada malam itu dipaksakan energi negatif dalam kadar tinggi sehingga terjadi khaos besar-besaran di muka bumi.
Mereka yang berpesta dapat luput dari senjata separatis, tetapi mereka tidak sempat menghindar dari gelombang laut dengan ketinggian lima belas meter dengan kecepatan limaratus kolometer per jam. Padahal mereka telah coba dibangunkan dengan goyangan sepuluh skala richter. Tetapi pengaruh alkohol yang tinggi dan air tulang yang telah habis terpancar kepada ruang rahiasia yang bertelanjang dan menari-nari tadi malam membuat mereka begitu lemas.
Seorang kakak misterius telah memperingatkan, tetapi tidak diindahkan.
”Jangan berhuru-hara di sini.”

Memperingati tsunami delapan tahun
Marilah kita hantarkan Al-Fatihan kepada seluruh korban tak berdosa akibat ulah mereka yang berpesta.
Jakarta, 25 Desember 2012
Abu Muhammad Ibrahim

Sejarah Waktu, Tahun, Penanggalan

I am thinking, therefore I exist (Corgito Ergo sum)”, Rene Descartes. Seingat saya, saya benar-benar tidak ingat kapan, dimana atau bagaimana saya lahir ke di dunia ini, dan tidak pasti sedang memikirkan apa pada saat lahir. Walaupun menurut Rene Descartes saya belumlah resmi exist/ada pada saat saya dilahirkan, setidaknya saya patut bersyukur hari ini saya bisa menuliskan tanggal, hari dan tahun kelahiran saya dengan akurat dalam riwayat hidup tanpa bersedih. Tidak seperti zaman kakek moyang yang harus prihatin karena mesti menandai waktu kelahiran dengan peristiwa gunung meletus, musim paceklik, atau musim kemarau panjang.
Setiap peradaban memiliki sejarah, setiap peradaban memiliki penanda waktu sejarahnya dan untuk menandai catatan sejarahnya setiap peradaban memiliki kalender, sistem perhitungan waktu. Jika anda memeriksa jumlah sistem kalender, maka di dunia tidak kurang dari 25 sistem penanggalan yang masih ada. Setidaknya yang paling populer di dunia ada 3, yang paling umum yaitu penanggalan masehi yang menggunakan putaran matahari sebagai pedoman (solar calendar), lalu ada penanggalan Hijriah yang menggunakan putaran bulan sebagai acuan (lunar calendar) dan serta penanggalan China yang menggunakan kombinasi putaran bulan dan matahari (lunisolar calendar) -anda yang orang Jawa tulen boleh menambahkan kalender Jawi.
Tapi tahukah anda perhitungan hari, bulan dan tahun yang saat ini umum kita kenal memiliki sejarah yang rumit dan panjang. Malam ini, tepat di momentum pergantian tahun saya tergelitik untuk sedikit menuliskan informasi tentang sistem kalender, sedikit mencerahkan beberapa pandangan tentang sistem penanggalan yang kita kenal dari sisi sejarah.
Kepentingan manusia dengan sistem kalender dimulai sejak manusia ada di dunia, usianya tentu saja setua adanya manusia. Manusia makhluk pembelajar yang sangat hebat sedangkan hewan lebih peka terhadap perubahan waktu, manusia menyadari waktu migrasi hewan selalu berbarengan dengan perubahan bulan, perubahan letak matahari serta kemunculan bintang-bintang tertentu. Di masa lalu orang menandai waktu yang tepat untuk berburu atau memanen ikan di laut. Pada era peradaban bercocok tanam, kemampuan membaca benda angkasa untuk menandai waktu ini berguna untuk menandai waktu tanam atau panen terbaik sebelum cuaca dan kondisi alam berubah tidak menguntungkan. Bahkan bangsa nelayan dan pelaut lebih jauh lagi menyadari bahwa letak bintang-bintang tersebut bisa menjadi pedoman arah perjalanan.
Jika sistem penanggalan sudah sedemikian tua, kenapa sistem kalender masehi baru berkisar di angka 2000-an, sistem kalender hijriah di angka 1400-an atau sistem kalender china di angka 4000-an? Pertanyaan itulah yang akan coba kita telusuri melalui tulisan ini.
a. Penanggalan Masehi/Gregorian Calendar.
Sistem kalender masehi yang sekarang digunakan secara internasional, di masa awalnya merupakan penanggalan Romawi kuno yang lunaris, menggunakan pedoman bulan tetapi dengan jumah 30 hari dan 31 hari dalam satu bulan. Mereka menetapkan perhitungan awal tahun berdasarkan kemunculan matahari. Sialnya buat kita, orang Romawi kuno sangat sederhana, mereka biasa berhitung hanya sejumlah jarinya, demikian juga untuk perhitungan jumlah bulan dalam 1 tahun hanya memiliki 10 bulan. Mereka tidak menghitung bulan di musim dingin karena tidak ada matahari dan terhentinya seluruh kegiatan hidup normal.
Sebenarnya Orang Romawi kuno menggunakan angka untuk menamai bulan; bulan pertama, bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-10 (desember), buktinya yang bisa dilihat dari adanya beberapa bulan yang berasal dari bahasa latin yang mewakili angka tertentu, septe artinya 7, octo berarti 8, nove= 9, dan dese=10. Mereka merayakan awal tahun “lebih lambat 2 bulan”, mereka merayakan awal pergantian tahun di bulan pertama yang sekarang dikenal sebagai Bulan Maret (March).
Lalu entah sejak kapan, Orang Romawi kuno mulai mengganti beberapa nama bulan. Martius digunakan untuk nama bulan pertama, konon diambil dari nama dewa perang Mars. Barangkali karena di bulan musim semi itu biasa terjadi perang memperebutkan sumber daya alam dan masing-masing pihak menilai lawan dalam keadaan paling lemah karena baru melalui musim dingin. Nama April untuk bulan kedua tidak jelas dari mana asal penamaannya, tidak ada nama dewa atau kata apa pun yang mewakili April. Sedangkan Mei diduga berasal dari nama dewi kesuburan Maia, barangkali karena di bulan itu mereka biasa memulai bercocok tanam. Juni berasal diduga berasal dari nama dewi pelindung Juno. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa Mei dan Juni berasal dari kata Maiores (tua) dan Iuniores (muda).
Ketika raja kedua Romawi bernama Numa Pompilius naik tahta menggantikan Romulus, ia mereformasi sistem penanggalan dengan menambahkan 2 bulan, Januari dan Februari. Mengambilnya dari nama dewa Perubahan dan Peralihan; Janus, serta menamakan bulan kedua bulan Penyucian; Februum. Numa juga mengubah sistem penanggalan, ia mengambil satu di tiap bulan berhari 30 dan menambahkan 6 hari itu ke 51 hari di musim dingin sehingga menjadi 57, 29 hari untuk bulan Januari dan 28 hari untuk Februari. Menjadikan total hari dalam 1 tahun 355 hari dari semula 304 hari dan menyisipkan satu bulan tambahan berjumlah 27 hari setelah Februari setiap beberapa tahun.
Karena dianggap terlalu rumit, Julius Caesar kemudian mereformasi penanggalan dengan berasumsi perputaran matahari 1 tahun adalah 365.25 hari, ia merubah penanggalan sehingga jumlah hari setiap bulan seperti sekarang kita kenal. Reformasi inilah yang mengubah penanggalan lunaris Romawi menjadi solaris. Reformasi berlanjut hingga Augustus naik tahta, kemudian nama bulan ke-7 yang semula Quintilis (sesuai arti namanya semula bulan ke-5) diubah menjadi Julius untuk menghormati Julius Caesar dan Sextilis (semula berarti bulan ke-6) menjadi namanya sendiri; Augustus.
Meskipun orang Yunani sudah lama mengetahui bahwa satu tahun kurang beberapa menit dari 365.25 hari, sistem kalender Julius Caesar tidak mengkompensasinya, sehingga setiap 400 tahun ada kelebihan 3 hari. Pada tahun 1582 Paus Gregory XIII mereformasi sistem penanggalan dengan hanya menghapus tahun kabisat kelipatan 100 dan tahun kelipatan 400 tetap kabisat. Ada selisih 11 hari antara Kalender Julian dengan Kalender Gregory. Kalender Gregory inilah yang hingga saat ini diberlakukan sebagai sistem penanggalan internasional. Tetapi pada saat dilakukan reformasi Kalender Gregory, tidak semua negara yang menggunakan Kalender Julian mengikuti, terutama negara kristen protestan. Beberapa negara langsung menerapkan sistem ini, ada yang mengikuti beberapa tahun, beberapa ratus tahun kemudian, bahkan ada yang hingga kini masih menggunakan sistem Kalender Julian.
b. Sistem Kalender Hijriah
Sebelum masa penyebaran Islam, orang arab telah lama mengenal sistem penanggalan. Tradisi Arab memperlihatkan bahwa orang-orang Arab mengenal perputaran waktu berdasarkan kombinasi sistem lunisolar. Mereka menandai bulan berdasarkan tradisi ritual mereka, ada bulan untuk berkurban, bulan yang diizinkan melakukan peperangan, atau bulan terlarang (haram) berperang. Bulan-bulan dilarang melakukan peperangan adalah Rajab dan tiga bulan di musim haji, DhulQaidah, Dhu al-Hijja, dan Muharram. Informasi tentang bulan haram juga ditemukan dalam literatur barat; Procopius. Ia menuliskan gambaran gencatan senjata dengan salah satu suku Arab sekitar tahun 541 Masehi.
Setelah penganut Islam menguasai tanah arab, menurut sejarah, di masa pemerintahan Khalifah ke-2 Umar bin Khattab dilakukan penyeragaman sistem kalender, saat itu masih terdapat beberapa sistem kalender lokal. Penyeragaman ini dilakukan hanya menetapkan titik awal tahun. Sistem penanggalan sendiri, termasuk perubahan dari lunasolaris menjadi murni lunaris, dilakukan sesuai petunjuk Nabi berdasarkan ayat-ayat yang turun untuk menentukan penentuan penanggalan. Bahkan penentuan awal dan akhir bulan dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi. Dalam sistem kalender Hijriah tidak banyak perubahan-perubahan berarti, nama-nama bulan pun masih menggunakan nama bulan yang sama seperti sebelum penyebaran Islam.
Ufh,….. saya sudah terlalu capek untuk menuliskan tentang sejarah Kalender China. :) Berhubung masih momen tahun baru, apakah anda merayakannya? Berpesta dan berpawai di jalan-jalan?
Boleh atau tidaknya menyambut tahun baru rasanya kontra produktif untuk diperdebatkan di sini. Ada yang menyebutkan bahwa perayaan tahun baru adalah derivat dari persembahan kepada dewa penguasa Bulan Januari (Janus). Ini pun tidak tepat karena persembahan kepada Janus yang sebenarnya justru dilakukan oleh penganut pagan dengan bermeditasi dan berdiam rumah atau di kuil. Apalagi Bulan Januari justru jatuh tepat di puncak musim dingin, di masa lalu tidak ada orang cukup bodoh berpesta dan turun ke jalan di tengah-tengah suhu beku. Di malam pergantian tahun anda bisa ikut turun ke jalan jika suka, atau bisa juga menonton televisi dan berdiam di rumah, itu hak pribadi anda. Asal saja jangan diniatkan untuk memberi penghormatan kepada Janus.
Saya belum menemukan referensi yang pasti tentang sejak tahun baru dirayakan dengan meriah dan berpesta. Kemungkinan besar adalah di era revolusi industri di eropa, era ketika kaum pekerja meningkat pesat, mereka bekerja hampir sepanjang tahun dan menemukan libur panjang di awal tahun. Di saat itulah waktu libur panjang itu digunakan untuk bersukaria melepas kejenuhan kerja.
Ah,…. andaikan Krisdayanti tahu rumitnya sejarah penanggalan kemungkinan dia tidak akan mau menyanyikan lagu “Menghitung Hari” di malam tahun baru.
Irpanudin

Sejarah Tahun Baru

Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.
Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings.
Menurut kepercayaan bangsa Romawi Kuno, Janus adalah dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” in Mélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400).
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum Muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi.
Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dan sebagainya.
Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan statemen ini adalah:
Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar dan buruk, termasuk perbuatan orang-orang kafir. Beliau bersabda: “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut,” (Hadits shahih riwayat Abu Daud)
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan: “Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”
Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,” (QS Al-Mumtahanah: 1).
Ketiga, Hari Raya merupakan bagian dari keyakinan dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah:
Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha,” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang Majusi, sumber asli dua perayaan ini.
Namun mengingat dua hari raya tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Turut bergembira dengan hari raya orang kafir, termasuk terlarang
Karena itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang terlarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Keempat, Allah berfirman, menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah pilihan): “Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…
Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir, berarti dia bukan orang baik.Desastian/dbs
Ihwan Ghazali

Sejarah Sekitar Tahun Baru

Bangsa Romawi kuno memperingati tanggal 1 Januari sebagai hari penghormatan untuk dewa mereka yaitu Dewa Janus, . yang memiliki dua wajah, satu melihat ke depan dan ke belakang tampak lainnya yaitu dewa gerbang, pintu, dan awal bagi Bangsa Romawi kuno. Untuk nama bulan pertama yaitu Bulan Januari mengambil sesuai dengan dewa tersebut.
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sesudahnya Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, terjadi perubahan nama bulan yaitu Quintilis di ganti Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
pada 24 Februari 1582 Paus Gregorius XIII, dengan dekrit yang ditandatangani, mengeluarkan keputusan banteng kepausan, yang dikenal dengan kata-kata pembukaannya, gravissimas Internasional Kalender Gregorian, juga disebut kalender Barat dan kalender Kristen. Secara internasional kalender sipil yang paling banyak diterima di seluruh dunia sampai saat ini.
Motivasi untuk melakukan reformasi Gregorian adalah Satu tahun dalam Kalender Julius berlangsung selama 365 hari 6 jam. Tetapi karena revolusi Bumi hanya berlangsung selama 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik, maka setiap 1 milenium, Kalender Julius kelebihan 7 sampai 8 hari (11 menit 14 detik per tahun). Masalah ini dipecahkan dengan hari-hari kabisat yang agak berbeda pada kalender baru ini. Pada kalender Julius, setiap tahun yang bisa dibagi dengan 4 merupakan tahun kabisat. Tetapi pada kalender baru ini, tahun yang bisa dibagi dengan 100 hanya dianggap sebagai tahun kabisat jika tahun ini juga bisa dibagi dengan 400. Misalkan tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan tahun kabisat. Tetapi tahun 1600 dan 2000 merupakan tahun kabisat.
Reformasi Gregorian berisi dua bagian: reformasi kalender Julian yang digunakan sebelum waktu Paus Gregory dan reformasi siklus bulan yang digunakan oleh Gereja, dengan kalender Julian, untuk menghitung tanggal Paskah.

Reformasi ini adalah modifikasi dari catatan yang dibuat oleh Calabria dokter Aloysius Lilius. Usulan Lilius ini termasuk mengurangi jumlah tahun kabisat dalam empat abad 100-97, dengan membuat 3 dari 4 tahun penanggalan umum bukan tahun kabisat: ini bagian dari catatan yang telah diusulkan sebelumnya oleh, antara lain, Pietro Pitati. Lilius juga menghasilkan skema asli dan praktis untuk menyesuaikan posisi bulan saat menghitung tanggal Paskah tahunan, memecahkan hambatan lama untuk kalender Julian.
Karena Protestan dan Kristen Ortodoks Timur tidak mengakui otoritas Paus, banyak negara Eropa awalnya tidak mengikuti reformasi Gregorian, dan dipelihara gaya lama sistem mereka. Akhirnya negara lain mengikuti reformasi demi konsistensi, tetapi pada saat penganut terakhir dari kalender Julian di Eropa Timur (Rusia dan Yunani) berubah ke sistem Gregorian pada abad ke-20, mereka harus kehilangan 13 hari dari kalender mereka , karena perbedaan tambahan antara kedua kalender akumulasi setelah 1582. Tahun 1704 negara Swedia yang terakhir mengadopsi kalender Gregorian dan pada tahun 1917 Uni soviet mengikutinya.
Domini Anno (Latin untuk pada tahun tersebut / Tuhan kita“) sistem penomoran tahun, di mana aturan lompatan tahun ditulis, dan yang umumnya digunakan bersama-sama dengan kalender Gregorian, juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagaicommon era” (era umum) . Tahun sebelum awal era yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Sebelum Kristus, atau Sebelum Masehi
Tentu saja, karena gravissimas Internasional ditulis dalam bahasa Latin, tidak ada mandat nomenklatur bahasa Inggris. Dua nama era terjadi dalam banteng, anno Incarnationis Dominicae(”pada tahun penjelmaan Tuhan“) pada tahun dekrit ditanda tangani, dan anno Domini nostri à Nativitate Jesu Christi(”pada tahun dari Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus ) untuk tahun itu dicetak. Namun demikian, anno Domini” dan infleksi nya anni Dominidan annus Dominidigunakan berkali-kali dalam Les canons of Les textes fondateurs du calendrier grégorien terbitan Perancis.
Dalam penggunaan umum, 1 Januari dianggap sebagai Hari Tahun Baru dan dirayakan seperti, dalam catan samuel pepys dari abad ke-12 sampai pada 1751 tahun hukum di Inggris dimulai pada tanggal 25 Maret (Lady Day). Kemudian dalam catatan The perpetual Calender Misalnya, catatan parlemen daftar eksekusi Charles I pada tanggal 30 Januari sebagai terjadi pada 1648 (sebagai tahun tidak berakhir sampai 24 Maret), meskipun sejarah modern yang menyesuaikan awal tahun sampai 1 Januari dan merekam eksekusi sebagaimana yang terjadi pada 1649 .
Sebagian besar negara-negara Eropa Barat mengubah awal tahun menjadi 1 Januari sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian. Misalnya, Skotlandia mengubah awal Tahun Baru Skotlandia 1 Januari tahun 1600 (ini berarti bahwa 1.599 adalah tahun pendek). Inggris, Irlandia, dan koloni Inggris mengubah awal tahun menjadi 1 Januari tahun 1752 jadi pada tahun 1751 adalah tahun singkat dengan hanya 282 hari. Kemudian tahun itu pada bulan September kalender Gregorian diperkenalkan di seluruh Inggris dan koloni Inggris. Kedua reformasi dilaksanakan oleh Calendar (New Style) Act 1750.
Di beberapa negara, sebuah dekrit resmi atau hukum ditentukan bahwa awal tahun ini harus 1 Januari terutama negara bekas jajahan Bangsa Eropa. Untuk negara-negara seperti kita dapat mengidentifikasi satu tahun tertentu ketika 1 Januari – 31 Desember menjadi tahun normatif yaitu satu periode. Tapi di negara-negara lain kebiasaan bervariasi, dan awal tahun ini bergerak maju-mundur sebagai budaya dan pengaruh dari negara lain mendiktekan berbagai adat istiadat mereka sesuai dengan kepentingan mereka atau melalui bagaimana mereka bisa mempertahankan tradisi dan salah satunya adalah tradisi Suro atau 1 Muharam yang masih banyak dirayakan masyarakat tradisonal dengan hening dan sepi sebagai sarana mengevaluasi diri dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME.
Agung Pribadi

Tanda Kehidupan di Danau Antartika yang Terkubur

WISSARD Dr. Mark Skidmore yang tergabung dalam proyek WISSARD membawa sampel pertama dari Danau Whillans. Danau Whillans terkubur 800 meter di bawah lapisan es di Antartika Barat. Namun di luar dugaan, danau itu masih menyimpan tanda kehidupan.

Hasil penelitian dalam proyek Whillans Ice Stream Subglacial Access Research Drilling (WISSARD) menemukan bahwa danau tersebut mempunyai sel kecil yang merespon pada cat warna asam deoksiribosa (DNA).

Temuan tersebut dapat menjadi sinyal bagus keberadaan kehidupan di Antartika. Riset lebih lanjt akan mengungkap apakah sel yang ditemukan memang hidup.

Adanya sel kecil tersebut diketahui setelah peneliti menganalisis sampel lumpur dan air yang berhasil diambil pada Senin (28/1/2013). Sampel nantinya akan dikirim ke laboratorium di Amerika Serikat.

Dalam situs web proyek WISSARD, seperti dikutip Our Amazing Planet, Rabu (30/1/2013), peneliti mengatakan, "upaya ini menandai keberhasilan mengambil sampel utuh dari danau subglasial di Antartika."

Misi WISSARD yang diprakarsai Amerika Serikat hanyalah salah satu misi eksplorasi Antartika. Inggris mengeksplorasi Danau Ellsworth sementara Rusia mengeksplorasi Danau Vostok.

Hingga kini, misi Inggris masih kesulitan dalam pengeboran. Sementara, misi Rusia berhasil menemukan material organik tahun 2012 lalu. Sayang, setelah diteliti, material organik itu berasal dari cairan yang digunakan untuk membantu mengebor.

Ilmuwan mengungkapkan, Danau Whillans tak begitu terisolasi dibanding Vostok dan Ellsworth. Arus dalam danau ini membawa air tawar, lumpur dan pasir ke wilayah yang dsiebut Whillans Basin. Tapi, ilmuwan berpikir bahwa danau seluas 3 kilometer persegi ini sudah tak punya kontak langsung dengan atmosfer selama ribuan tahun.

Editor :
yunan

Aceh Pungo”, Pembunuhan Khas Aceh

Img; "Aceh Pungo" cover book

Perang Belanda di Aceh yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX belum berakhir. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengakhiri perang yang telah banyak memakan korban, baik di pihak Aceh maupun di pihak Belanda sendiri. Menjelang akhir abad XIX dan pada awal abad XX, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui sebuah pasukan elit yang mereka namakan het korps marechaussee (pasukan marsose).

Pasukan ini dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian dan semangat tempur yang tinggi, dengan tugas untuk melacak dan mengejar para pejuang Aceh melawan Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka akan membunuh para pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya membuang ke luar daerah Aceh.

Dengan cara kekerasan ini Belanda mengharapkan rakyat atau para pejuang akan takut dan menghentikan perlawanan Belanda. Namun apa yang terjadi ? Akibat tindakan kekerasan tersebut telah menimbulkan rasa benci dan dendam yang sangat mendalam bagi para pejuang Aceh yang bersisa, lebih-lebih bagi keluarga mereka tinggalkan, ayah, anak, menantu, sanak keluarga atau kawomnya yang telah menjadi korban keganasan pihak Belanda.

Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda tersebut para pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau het is een typische Atjeh Moord, Suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. 

Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekad ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun pada tangsi-tangsi sendiri.

Pembunuhan khas Aceh ini antara tahun 1910 – 1920 telah terjadi sebanyak 79 kali dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka, sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini terjadi dalam tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap tahunnya. Sedangkan di tahun 1933 dan 1937 masing-masing 6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban dalam perang Belanda di Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX (1899-1909) sebagaimana disebutkan Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh. 

Dengan kata lain, angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk pada waktu itu. Angka ini setelah 5 tahun kemudian (1914) naik menjadi 23.198 jiwa dan diperhitungkan seluruh korban jiwa (dari pihak Aceh dan Belanda) dalam kurun waktu tersebut hampir sama dengan yang telah jatuh pada masa perang 1873 – 1899.

Hal ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun 1942. Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten CE Schmid, komandan Divisi 5 Korp Marsose di Lhoksukon pada tanggal 10 Juli 1933, yang dilakukan oleh Amat Lepon. Sementara pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini.


Pembunuhan khas Aceh adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Marsose Belanda. Sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran perang Sabil untuk poh kaphe (membunuh kafir). Di samping itu juga adanya suatu keinginan untuk mendapatkan mati syahid. Dan untuk membalas dendam yang dalam istilah Aceh disebut tueng bila, sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki oleh rakyat Aceh.

Akibat adanya pembunuhan nekad yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut.

Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh pungo (Aceh Gila).

Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr. R.H. Kern, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab, Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa. 

Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi juga mungkin terdapat kekeliruan, mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Atjeh Moorden tersebut. Menurut R.H. Kern apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu jiwanya akan tetap melawan Belanda.


Dengan kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila.

Namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila. Untuk itu seharusnya tindakan kekerasan jangan diperlakukan terhadap rakyat Aceh.

Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C. Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, mereka tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat.

Penulis: Rusdi Sufi, Sejarawan Aceh

Indonesia “Atlantis yang Hilang” Pusat Peradaban Dunia

Dalam bukunya “Atlantis The Lost Continent Finally Found”, Prof. Arysio Santos (Geolog & Fisikawan Nuklir Brazil) meyakini bahwa Atlantis yang hilang adalah Indonesia pada saat sebelum jaman es, ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan Asia yang merupakan asal mula pusat peradaban manusia.Dengan teori geologi yang dibuktikan dengan pengamatan satelit, suatu peradaban yang maju yang mungkin terjadi pada masa sebelum jaman es hanya bisa terjadi di daerah tropis. Sedangkan pada masa itu daerah subtropis seperti Eropa masih ditutupi es, tidak memungkinkan suatu kehidupan apalagi suatu peradaban yang maju. Dari segi logika masuk akal, tentu saja teorinya masih harus mendapatkan dukungan bukti-bukti arkeologi yang lebih nyata.

Note:
1). Atlantis sendiri adalah cerita dari Plato (427SM – 347SM) tentang keberadaan benua Atlantis yang sudah punya peradaban tinggi yang tengelam didasar laut, kemudian para pahlawan berhati luhur yang selamat menyebar membawa peradaban keseluruh dunia.
2) Benua Amerika adalah “invisible” bagi peradaban kuno yang berada di Asia maupun Eropa, sampai ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492. Oleh karena itu Samudra Atlantik oleh peradaban kuno termasuk didalamnya Samudra Pacific. Samudra Pacific baru ada setelah ditemukan Benua Amerika.
Yang menarik buat saya didalam bukunya, Prof. Arysio Santos becerita banyak tentang sumber cerita pewayangan yaitu Ramayana, Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa. Tiga sumber utama cerita pewayangan di Jawa. Bahkan menterjemahkan ker ajaan Alengkadireja di Ramayana terletak di Sumatera sebelum gunung Toba meletus bukan Sri Langka yang sering disebut oleh sumber di India.
Note:
a. Pustaka Raja Purwa karangan R. Ng. Ronggowarsito (1802 – 1873) adalah serat pedalangan versi Solo, sedangkan versi Jogja adalah Serat Purwakhanda karangan Sri Sultan Hamengkubuwana V (1822 – 1855), sedangkan versi Mangkunegaran adalah Serat Pedhalangan Ringgit Purwa hasil karya KGPAA Mangkunegara VII (1916 – 1944).
b. Para dalang di Jawa lebih melihat buku Pustaka Raja Purwa, Purwakhanda, atau Pedhalangan Ringgit Purwa sebagai sumber cerita wayang, dibandingkan dengan buku Ramayana atau Mahabharata.
Hal ini yang menimbulkan suatu spekulasi bagi saya bahwa ada kemungkinan memang ada kaitannya antara Pustaka Raja Purwa dengan Ramayana dan Mahabharata. Bukan dalam pengertian saat ini yang umum berlaku, yaitu Pustaka Raja Purwa adalah cerita yang dikembangkan dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Tapi malahan sebaliknya, sumber ceritanya telah berkembang di Jawa secara turun temurun dalam bentuk pementasan wayang kulit, kemudian dibukukan menjadi Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dan Pedalangan Ringgit Purwa. Sama sekali proses yang berbeda dengan keberadaan Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India walaupun menceritakan hal yang sama.
Kalau kita mengamati cerita wayang di Pustaka Raja Purwa / Purwakanda / Pedhalangan Ringgit Purwa adalah sangat detil, jauh lebih detil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Kalau kita mengacu pada teori Prof. Arysio Santos bahwa pusat peradaban berasal dari Indonesia, justru orang-orang India yang berasal dari Indonesia yang selamat dari akibat tsunami dikarenakan meletusnya gunung Krakatau yang mengakhirinya jaman es, mengembangkan peradaban di India, kemudian menulis cerita pra-tsunami dalam dua episode cerita yaitu buku Ramayana dan Mahabharata, oleh karena itu lebih ringkas dibandingkan dengan sumber cerita yang sama di Jawa. Sudah barang tentu cerita ataupun legenda akan lebih detil apabila lebih dekat dengan sumbernya.
Karena pusat peradaban tengelam, yang selamat adalah mereka yang hidup di dataran tinggi yang saat ini adalah pulau-pulau di Indonesia saat ini. Sedangkan yang hidup di pulau Jawa tidak mungkin meneruskan peradaban tulis yang sudah ada dan tenggelam, jadi ceritanya dalam bentuk legenda dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi kemudian lebih diabadikan lagi dalam bentuk pementasan wayang kulit yang akhirnya menjadi buku Pustaka Raja Purwa maupun yang lain-lainnya.
Baru belakangan sejalan dengan tumbuhnya kerajaan Hindu di Jawa, buku Ramayana dan Mahabharata datang ke Jawa bersamaan dengan pengaruh penyebaran agama Hindu dari India. Keberadaan buku Ramayana dan Mahabharata di Jawa hanya sebagai pembanding, karena cerita yang sama dan lebih lengkap sudah ada di Jawa dalam bentuk pementasan wayang kulit.
Teori Prof. Arysio Santos, bisa merupakan suatu cerita baru tentang legenda para pahlawan berbudi luhur yang bersumber dari peradaban Atlantis yang hilang, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menurut bukunya sudah ada paling tidak tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan bencana alam yang sangat besar:
1. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Toba yang terjadi pada kurang lebih 75.000 tahun sebelum Masehi. Sehingga gunung Toba menyisakan kaldera sangat luas yang berupa danau Toba saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Ramayana.
2. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Krakatau yang mengakhiri jaman es pada kurang lebih 11.000 tahun sebelum Masehi. Yang mengakibatkan gunung Krakatau tenggelam dan hanya kelihatan puncaknya di Selat Sunda saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Mahabharata.
3. Bencana tsunami maha besar diakibatnya mencairnya es di puncak gunung Himalaya yang terjadi sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi yang mejadikan peta India dan Indonesia seperti saat ini. Periode rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi peradaban yang ada seperti sekarang ini.
Dulunya India dan Indonesia adalah menjadi suatu kesatuan kerajaan maha luas yang berpusat di Indonesia yang saat ini diperkirakan sebagai Atlantis yang tenggelam di Palung Sunda (Laut China Selatan dan Laut Jawa) ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan benua Asia.
Tentu saja teori Prof. Arysio Santos, bisa jadi akan menjungkirbalikkan cerita asal usul manusia dan peradaban dunia. Teori ini masih harus dibuktikan dengan penemuan arkeologi yang lebih meyakinkan di Laut Jawa dan Laut China Selatan yang dulunya daratan yang menghubungkan Indonesia saat ini dengan Asia yang disebut sebagai Atlantis yang hilan
Plato said that Atlantis is a prosperous country that the sun bathed all the time. Whereas age at the time was Ice Age, where the temperature of the earth as a whole is approximately 15 degrees Celsius colder than today.Location was bathed in sunlight at the time that Indonesia is indeed located at the equator.
Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dari sekarangLokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di katulistiwa.

Konsep Peta Benua Atlantis jaman dulu

Cover Buku “Atlantis The Lost Continents Finally Found” karya Prof. Arysio Santos
“Atlantis The Lost Continents Finally Found” Group Facebook

Islam and Science : The Road To Renewal

Islam and Science : The Road To Renewal
After centuries of stagnation science is making a comeback in the Islamic world

The Economist
Islam dan Ilmu Pengetahuan: The Road To Renewal
Setelah stagnasi berabad-abad, ilmu kembali membuat cerdas di dunia Islam
Setelah tertidur lama dan mendalam. Pada tahun 2005 Harvard University menghasilkan karya yang lebih ilmiah dari 17 negara-negara berbahasa Arab bila digabungkan. Di dunia 1,6 miliar Muslim telah hanya menghasilkan dua peraih Nobel di bidang kimia dan fisika. Keduanya pindah ke Barat: satu-satunya yang hidup, ahli kimia Ahmed Hassan Zewail, adalah di Institut Teknologi California. Dengan Yahudi Sebaliknya, kalah jumlah 100 sampai satu oleh umat Islam, telah memenangkan 79. 57 negara dalam Organisasi Konferensi Islam menghabiskan% 0,81 lemah dari PDB pada penelitian dan pengembangan, sekitar sepertiga dari rata-rata dunia. Amerika, yang memiliki anggaran ilmu pengetahuan terbesar di dunia, menghabiskan 2,9%, Israel melimpahi 4,4%.
Banyak yang menyalahkan Umat Islam untuk permusuhan bawaan untuk ilmu pengetahuan. Beberapa universitas Islam tampak lebih fokus pada aktifitas doa daripada studi. Quaid-i-Azam University di Islamabad, misalnya, memiliki tiga masjid di kampus, dengan direncanakan mesjid keempat, tapi tidak ada toko buku sama sekali. Belajar dengan menghafal daripada berpikir kritis adalah ciri khas dari pendidikan tinggi di banyak negara Muslim. Pemerintah Saudi mendukung buku-buku untuk sekolah-sekolah Islam seperti “The Miracles (Mukjizat) tak tertandingi dari Al Qur’an: Fakta Yang Tidak Dapat Ditolak oleh Ilmu pengetahuan” menunjukkan konflik inheren antara keyakinan (iman buta) dan akal.
Banyak universitas yang pemalu tentang program yang menyentuh bahkan tangensial pada politik atau melihat agama dari sudut pandang non-ritual. Pervez Hoodbhoy, seorang ilmuwan nuklir terkenal Pakistan, memperkenalkan saja pada urusan ilmu pengetahuan dan dunia, termasuk hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan, di Universitas Ilmu Manajemen di Lahore, salah satu universitas negeri yang paling progresif. Siswa sangat antusias, tapi kontrak Mr Hoodbhoy itu tidak diperpanjang dan ia dikeluarkan pada bulan Desember, tanpa alasan yang tepat, katanya. (Universitas menegaskan bahwa keputusan itu tidak ada hubungannya dengan isi kursus.)
Tapi lihatlah dari lebih dekat dan dua hal yang jelas. Sebuah kebangkitan ilmiah Muslim sedang berlangsung. Dan akar dari keterbelakangan ilmiah tidak bersasal para pemimpin agama Islam, tetapi dari penguasa sekuler, yang sangat pelit dengan uang tunai karena mereka hidup mewah dengan mengontrol ketat pemikiran yang independen.
Pandangan panjang
Karikatur keterbelakangan endemik umat Islam mudah terhalau. Antara abad kedelapan dan ke-13, sementara Eropa tersandung melalui zaman kegelapan, ilmu pengetahuan telah berkembang di negeri-negeri Muslim. Para khalifah Abbasiyah menggelontorkan banyak uang pada kegiatan pembelajaran. Kitab “Canon of Medicine” Abad ke-11 oleh Ibnu Sina (foto, dengan peralatan modern dia akan menikmati) adalah teks medis standar di Eropa selama ratusan tahun. Pada abad kesembilan Muhammad al-Khwarizmi meletakkan prinsip-prinsip aljabar, sebuah kata yang berasal dari nama bukunya, “Kitab al-Jabr”. Al-Hasan Ibnu al-Haytham mengubah studi cahaya dan optik. Abu Raihan Al-Biruni, seorang Persia, telah menghitung keliling bumi untuk dengan tingkat kesalahan 1%. Dan para ulama telah berbuat banyak untuk melestarikan warisan intelektual Yunani kuno, yang di abad kemudian membantu percikan revolusi ilmiah Eropa.
Tidak hanya ilmu pengetahuan dan Islam yang kompatibel, tetapi agama bahkan bisa memacu inovasi ilmiah. Penghitungan Akurat awal Ramadhan (ditentukan oleh penampakan bulan baru) termotivasi ilmu astronom . Hadis (perkataan Muhammad) mendesak orang percaya untuk mencari ilmu, “bahkan samapi sejauh Cina”.
Prestasi para ulama ‘semakin dirayakan. Puluhan ribu orang berkumpul untuk “Penemuan 1001″, sebuah pameran tur tentang zaman keemasan ilmu pengetahuan Islam, di ibukota Qatar, Doha, pada musim gugur. Lebih penting lagi, Namun, penguasa menyadari nilai ekonomi penelitian ilmiah dan sudah mulai berbelanja secara Royal sesuai. Universitas Sains dan Teknologi Raja Arab Saudi Abdullah yang dibuka pada tahun 2009, memiliki hadiah anugerah $ 20.000.000.000 bahwa bahkan universitas di Amerika yang kaya akan merasa iri.
Orang Asing sudah dalam perjalanan mereka di sana. Jean Fréchet, yang mengepalai penelitian, adalah seorang ahli kimia Perancis tip untuk memenangkan hadiah Nobel. Para pendatang baru Saudi menawarkan kerjasama penelitian dengan universitas Oxford dan Cambridge, dan dengan Imperial College, London. Para penguasa tetangga Qatar yang menabrak pengeluaran penelitian dari 0,8% menjadi 2,8% dari PDB yang direncanakan: tergantung pada pertumbuhan, yang bisa mencapai $ 5 miliar per tahun. Penelitian belanja di Turki meningkat lebih dari 10% setiap tahun antara 2005 dan 2010, di mana tahun pengeluaran kas dua kali itu Norwegia.
Gelombang armada bantalan uang membawa hasil. Pada periode tahun 2000 sampai produksi 2009 karya ilmiahTurki meningkat dari hampir 5.000 hingga 22.000, dengan uang tunai kurang, Iran naik 1.300, hampir 15.000. Kuantitas memang tidak berarti kualitas, tetapi makalah-makalah menjadi lebih baik, juga. Jurnal ilmiah, dan bukan hanya beberapa yang berbasis di dunia Islam, yang mengutip makalah ini lebih sering. Sebuah studi tahun 2011 oleh Thomson Reuters, sebuah perusahaan informasi, menunjukkan bahwa pada awal 1990-an penerbit lain dikutip makalah ilmiah dari Mesir, Iran, Yordania, Arab Saudi dan Turki (negara-negara Muslim yang paling produktif) empat kali lebih sering daripada rata-rata global. Pada 2009 itu hanya setengah sesering. Dalam kategori terbaik dianggap makalah matematika, Iran saat ini berkinerja baik atas rata-rata, dengan 1,7% dari kertas yang di antara yang paling-dikutip% 1, dengan Mesir dan Arab Saudi juga melakukan dengan baik. Turki skor tinggi pada rekayasa.
Ilmu dan teknologi yang berhubungan dengan mata pelajaran, dengan manfaat yang jelas mereka praktis, melakukan yang terbaik. Teknik mendominasi, dengan ilmu pertanian tidak jauh di belakang. Kedokteran dan kimia juga populer. Nilai untuk masalah uang. Fazeel Mehmood Khan, yang baru saja kembali ke Pakistan setelah melakukan PhD di Jerman pada astrofisika dan sekarang bekerja di Pemerintah University College di Lahore, diberitahu oleh wakil kanselir-universitas untuk menghentikan mengejar ide-ide liar (lubang hitam, dalam kasusnya) dan melakukan sesuatu yang berguna.
Sains bahkan menyeberangi membagi wilayah terdalam. Pada tahun 2000 WIJEN, sebuah laboratorium fisika internasional dengan akselerator partikel pertama di Timur Tengah, didirikan di Yordania. Ini adalah model CERN, laboratorium fisika partikel-Eropa, yang diciptakan untuk mempertemukan para ilmuwan dari musuh perang. Pada boffins Israel WIJEN bekerja dengan rekan-rekan dari tempat-tempat seperti Iran dan wilayah Palestina.
Dengan buku
Ilmu jenis dipraktekkan di WIJEN muntah beberapa tantangan dengan doktrin Islam (dan dalam banyak kasus begitu muskil bahwa sensor agama akan berjuang untuk memahaminya). Tapi biologi-terutama dengan evolusi sudut-berbeda. Banyak Muslim yang terganggu oleh gagasan bahwa manusia berbagi nenek moyang yang sama dengan kera. Penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2008 oleh Salman Hameed dari Hampshire College di Massachusetts, seorang astronom Pakistan yang sekarang mempelajari sikap umat Islam untuk ilmu pengetahuan, menemukan bahwa kurang dari 20% di Indonesia, Malaysia atau Pakistan percaya pada teori Darwin. Di Mesir itu hanya 8%.
Yasir Qadhi, seorang insinyur kimia Amerika berbalik ulama (yang telah dipelajari di kedua Amerika Serikat dan Arab Saudi), bergumul dengan masalah ini pada konferensi London pada Islam dan evolusi bulan ini. Dia tidak keberatan untuk menerapkan teori evolusi untuk lifeforms lainnya. Tapi dia bersikeras bahwa Adam dan Hawa tidak memiliki orang tua dan tidak berevolusi dari spesies lain. Setiap argumen alternatif adalah “kitab suci bisa dipertahankan,” katanya. Beberapa, terutama di diaspora, conflate evolusi manusia dengan ateisme: menolak menjadi bagian mendefinisikan menjadi seorang Muslim. (Beberapa orang Kristen mengambil pendekatan yang sama dengan Alkitab.)
Meskipun tidak percaya tersebut dapat ditulis dalam istilah agama, budaya dan politik memainkan peran yang lebih besar, kata Mr Hameed. Pendidikan sekolah miskin di banyak negara meninggalkan pikiran terbuka untuk kesalahpahaman. Sebuah gerakan yang berkembang penciptaan Islam sedang bekerja juga. Seorang pastur Turki kontroversial yang pergi dengan nama Harun Yahya adalah di garis terdepan. Situsnya spews pamflet dan buku mengutuk Darwin. Tidak seperti rekan-rekan Amerika, bagaimanapun, ia mengakui bahwa alam semesta ini miliaran tahun (tidak 6.000 tahun).
Tapi hambatan ini tidak diatasi. Banyak ahli biologi Muslim telah berhasil mendamaikan iman mereka dan pekerjaan mereka. Fatimah Jackson, seorang antropolog biologi yang masuk Islam, mengutip Theodosius Dobzhansky, salah satu pendiri genetika, mengatakan bahwa “tidak ada dalam biologi masuk akal kecuali dalam terang evolusi”. Sains menjelaskan bagaimana hal-hal berubah; Islam, dalam arti yang lebih luas, menjelaskan mengapa, katanya.
Lain mengambil garis yang sama. “Al-Quran bukan buku ilmu pengetahuan,” kata Rana Dajani, seorang ahli biologi molekuler Yordania. “Ini memberikan orang dengan pedoman tentang bagaimana mereka harus hidup mereka.” Interpretasi dari itu, ia berpendapat, bisa berkembang dengan penemuan-penemuan ilmiah baru. Ayat-ayat Alquran tentang penciptaan manusia, misalnya, sekarang dapat dibaca sebagai memberikan dukungan bagi evolusi.
Bagian lain dari ilmu kehidupan, seringkali sulit bagi orang Kristen, telah terbukti bermasalah bagi umat Islam. Dalam peneliti Amerika ingin menggunakan sel induk embrionik (yang, seperti namanya, harus diambil dari embrio manusia, biasanya suku cadang yang tersisa dari perawatan kesuburan) harus pertempuran pro-kehidupan konservatif Kristen dan larangan federal pada pendanaan untuk bidang mereka . Tetapi menurut Islam, jiwa tidak masuk janin sampai antara 40 dan 120 hari setelah pembuahan-sehingga para ilmuwan di Institut Royan di Iran mampu melakukan riset sel induk tanpa menarik kecaman.
Tapi jenis kebebasan yang menuntut ilmu masih langka di dunia Muslim. Dengan kebangkitan Islam politik, termasuk Salafi dogmatis yang mendukung versi radikal Islam, di negara-negara penting seperti Mesir, beberapa ketakutan bahwa hal itu bisa terkikis lebih lanjut masih. Lainnya, Namun, tetap berharap. Muhammad Morsi, Presiden Mesir, adalah mantan profesor teknik di Universitas Zagazig, dekat Kairo. Dia memiliki gelar PhD dalam ilmu material dari University of Southern California (disertasinya berjudul “High-Suhu Konduktivitas Listrik dan Struktur Cacat dari Donor-Didoping Al2O {-3}”). Dia telah berjanji bahwa pemerintahannya akan menghabiskan lebih pada penelitian.
Dilepaskan dari kontrol ketat dari rezim mantan, ilmuwan di negara-negara Arab melihat kesempatan untuk kemajuan. Para ilmuwan di Tunisia mengatakan mereka sudah melihat reformasi yang menjanjikan dalam cara posting universitas dipenuhi. Orang-orang terpilih, daripada ditunjuk oleh rezim. Badai politik yang mengguncang Timur Tengah bisa mempromosikan bukan hanya demokrasi, tetapi menghidupkan kembali ilmiah berpikiran bebas, juga.
Sumber: http://iranian.com/posts/view/post/6265
THE sleep has been long and deep. In 2005 Harvard University produced more scientific papers than 17 Arabic-speaking countries combined. The world’s 1.6 billion Muslims have produced only two Nobel laureates in chemistry and physics. Both moved to the West: the only living one, the chemist Ahmed Hassan Zewail, is at the California Institute of Technology. By contrast Jews, outnumbered 100 to one by Muslims, have won 79. The 57 countries in the Organisation of the Islamic Conference spend a puny 0.81% of GDP on research and development, about a third of the world average. America, which has the world’s biggest science budget, spends 2.9%; Israel lavishes 4.4%.
Many blame Islam’s supposed innate hostility to science. Some universities seem keener on prayer than study. Quaid-i-Azam University in Islamabad, for example, has three mosques on campus, with a fourth planned, but no bookshop. Rote learning rather than critical thinking is the hallmark of higher education in many countries. The Saudi government supports books for Islamic schools such as “The Unchallengeable Miracles of the Qur’an: The Facts That Can’t Be Denied By Science” suggesting an inherent conflict between belief and reason.
Many universities are timid about courses that touch even tangentially on politics or look at religion from a non-devotional standpoint. Pervez Hoodbhoy, a renowned Pakistani nuclear scientist, introduced a course on science and world affairs, including Islam’s relationship with science, at the Lahore University of Management Sciences, one of the country’s most progressive universities. Students were keen, but Mr Hoodbhoy’s contract was not renewed when it ran out in December; for no proper reason, he says. (The university insists that the decision had nothing to do with the course content.)
But look more closely and two things are clear. A Muslim scientific awakening is under way. And the roots of scientific backwardness lie not with religious leaders, but with secular rulers, who are as stingy with cash as they are lavish with controls over independent thought.
The long view
The caricature of Islam’s endemic backwardness is easily dispelled. Between the eighth and the 13th centuries, while Europe stumbled through the dark ages, science thrived in Muslim lands. The Abbasid caliphs showered money on learning. The 11th century “Canon of Medicine” by Avicenna (pictured, with modern equipment he would have relished) was a standard medical text in Europe for hundreds of years. In the ninth century Muhammad al-Khwarizmi laid down the principles of algebra, a word derived from the name of his book, “Kitab al-Jabr”. Al-Hasan Ibn al-Haytham transformed the study of light and optics. Abu Raihan al-Biruni, a Persian, calculated the earth’s circumference to within 1%. And Muslim scholars did much to preserve the intellectual heritage of ancient Greece; centuries later it helped spark Europe’s scientific revolution.
Not only were science and Islam compatible, but religion could even spur scientific innovation. Accurately calculating the beginning of Ramadan (determined by the sighting of the new moon) motivated astronomers. The Hadith (the sayings of Muhammad) exhort believers to seek knowledge, “even as far as China”.
These scholars’ achievements are increasingly celebrated. Tens of thousands flocked to “1001 Inventions”, a touring exhibition about the golden age of Islamic science, in the Qatari capital, Doha, in the autumn. More importantly, however, rulers are realising the economic value of scientific research and have started to splurge accordingly. Saudi Arabia’s King Abdullah University of Science and Technology, which opened in 2009, has a $20 billion endowment that even rich American universities would envy.
Foreigners are already on their way there. Jean Fréchet, who heads research, is a French chemist tipped to win a Nobel prize. The Saudi newcomer boasts research collaborations with the universities of Oxford and Cambridge, and with Imperial College, London. The rulers of neighbouring Qatar are bumping up research spending from 0.8% to a planned 2.8% of GDP: depending on growth, that could reach $5 billion a year. Research spending in Turkey increased by over 10% each year between 2005 and 2010, by which year its cash outlays were twice Norway’s.
The tide of money is bearing a fleet of results. In the 2000 to 2009 period Turkey’s output of scientific papers rose from barely 5,000 to 22,000; with less cash, Iran’s went up 1,300, to nearly 15,000. Quantity does not imply quality, but the papers are getting better, too. Scientific journals, and not just the few based in the Islamic world, are citing these papers more frequently. A study in 2011 by Thomson Reuters, an information firm, shows that in the early 1990s other publishers cited scientific papers from Egypt, Iran, Jordan, Saudi Arabia and Turkey (the most prolific Muslim countries) four times less often than the global average. By 2009 it was only half as often. In the category of best-regarded mathematics papers, Iran now performs well above average, with 1.7% of its papers among the most-cited 1%, with Egypt and Saudi Arabia also doing well. Turkey scores highly on engineering.
Science and technology-related subjects, with their clear practical benefits, do best. Engineering dominates, with agricultural sciences not far behind. Medicine and chemistry are also popular. Value for money matters. Fazeel Mehmood Khan, who recently returned to Pakistan after doing a PhD in Germany on astrophysics and now works at the Government College University in Lahore, was told by his university’s vice-chancellor to stop chasing wild ideas (black holes, in his case) and do something useful.
Science is even crossing the region’s deepest divide. In 2000 SESAME, an international physics laboratory with the Middle East’s first particle accelerator, was set up in Jordan. It is modelled on CERN, Europe’s particle-physics laboratory, which was created to bring together scientists from wartime foes. At SESAME Israeli boffins work with colleagues from places such as Iran and the Palestinian territories.
By the book
Science of the kind practised at SESAME throws up few challenges to Muslim doctrine (and in many cases is so abstruse that religious censors would struggle to understand it). But biology—especially with an evolutionary angle—is different. Many Muslims are troubled by the notion that humans share a common ancestor with apes. Research published in 2008 by Salman Hameed of Hampshire College in Massachusetts, a Pakistani astronomer who now studies Muslim attitudes to science, found that fewer than 20% in Indonesia, Malaysia or Pakistan believed in Darwin’s theories. In Egypt it was just 8%.
Yasir Qadhi, an American chemical engineer turned cleric (who has studied in both the United States and Saudi Arabia), wrestled with this issue at a London conference on Islam and evolution this month. He had no objection to applying evolutionary theory to other lifeforms. But he insisted that Adam and Eve did not have parents and did not evolve from other species. Any alternative argument is “scripturally indefensible,” he said. Some, especially in the diaspora, conflate human evolution with atheism: rejecting it becomes a defining part of being a Muslim. (Some Christians take a similar approach to the Bible.)
Though such disbelief may be couched in religious terms, culture and politics play a bigger role, says Mr Hameed. Poor school education in many countries leaves minds open to misapprehension. A growing Islamic creationist movement is at work too. A controversial Turkish preacher who goes by the name of Harun Yahya is in the forefront. His website spews pamphlets and books decrying Darwin. Unlike his American counterparts, however, he concedes that the universe is billions of years old (not 6,000 years).
But the barrier is not insuperable. Plenty of Muslim biologists have managed to reconcile their faith and their work. Fatimah Jackson, a biological anthropologist who converted to Islam, quotes Theodosius Dobzhansky, one of the founders of genetics, saying that “nothing in biology makes sense except in the light of evolution”. Science describes how things change; Islam, in a larger sense, explains why, she says.
Others take a similar line. “The Koran is not a science textbook,” says Rana Dajani, a Jordanian molecular biologist. “It provides people with guidelines as to how they should live their lives.” Interpretations of it, she argues, can evolve with new scientific discoveries. Koranic verses about the creation of man, for example, can now be read as providing support for evolution.
Other parts of the life sciences, often tricky for Christians, have proved unproblematic for Muslims. In America researchers wanting to use embryonic stem cells (which, as their name suggests, must be taken from human embryos, usually spares left over from fertility treatments) have had to battle pro-life Christian conservatives and a federal ban on funding for their field. But according to Islam, the soul does not enter the fetus until between 40 and 120 days after conception—so scientists at the Royan Institute in Iran are able to carry out stem-cell research without attracting censure.
But the kind of freedom that science demands is still rare in the Muslim world. With the rise of political Islam, including dogmatic Salafists who espouse a radical version of Islam, in such important countries as Egypt, some fear that it could be eroded further still. Others, however, remain hopeful. Muhammad Morsi, Egypt’s president, is a former professor of engineering at Zagazig University, near Cairo. He has a PhD in materials science from the University of Southern California (his dissertation was entitled “High-Temperature Electrical Conductivity and Defect Structure of Donor-Doped Al2O{-3}”). He has promised that his government will spend more on research.
Released from the restrictive control of the former regimes, scientists in Arab countries see a chance for progress. Scientists in Tunisia say they are already seeing promising reforms in the way university posts are filled. People are being elected, rather than appointed by the regime. The political storms shaking the Middle East could promote not only democracy, but revive scientific freethinking, too.
Source: http://iranian.com/posts/view/post/6265